pencarian

Rabu, 25 Februari 2009

Pendidikan Seks Anak Autis

oleh Dra. Dyah Puspita

Sebagai masyarakat timur, seringkali kita merasa sungkan membicarakan masalah seksualitas. Apalagi pada individu autis, yang memang memerlukan penanganan khusus. Selain sungkan, kebanyakan orang tua juga tidak sanggup menghadapi rangkaian masalah yang harus dihadapi di kemudian hari dan memilih untuk menyimpan masalah itu hingga saat-saat terakhir. Padahal justru peran orang tua di masa kanak anak sangatlah menentukan dalam mempersiapkan anak-anak autis ini menghadapi masa-masa remaja dan masa dewasa mereka. Tanpa persiapan dan penjelasan sebelumnya, anak autis bingung dan cemas menghadapi perubahan fisik dalam diri mereka atau terlanjur menjadi korban penanganan lingkungan yang kurang bertanggung jawab. BATASAN Individu autis adalah individu yang sudah mendapat diagnosa sebagai memiliki gangguan per-kembangan autisme sebelum usia 3 tahun, dengan manifestasi gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan interaksi. Kadang mereka juga memiliki masalah lain seperti masalah makan, masalah tidur, gangguan sensoris dan sebagainya. Masa remaja autis, berawal pada usia yang berbeda-beda pada setiap individu. Ada yang sudah mengalami perubahan fisik dan dorongan seksual sejak usia 8 tahun, sementara yang lain terjadi sekitar usia 13-18 tahun. Bahkan ada pula yang hingga awal usia 20-an tidak menunjukkan minat yang berarti. Adams (2000) menyebutkan bahwa diskusi awal mengenai topik ini sudah seharusnya dimulai saat anak berusia 10 tahun, kecuali anak tampak memiliki kebutuhan untuk itu di usia lebih dini. Yang jelas, penelitian menunjukkan bahwa pada individu dengan kebutuhan khusus (special needs individuals) juga terjadi perkembangan yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Mereka mengalami perubahan emosional, fisik dan sosial yang hampir sama. Perubahan fisik mereka antara lain: mulai tumbuh rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan, terjadi perubahan pertumbuhan rambut di seluruh tubuh, perubahan suara pria, wanita mulai menstruasi. Meski demikian, perubahan emosional bagi anak dengan kebutuhan khusus (termasuk autism) prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan (Schwier&Hingsburger, 2000) sehingga tidak ada informasi yang jelas. Atau, sebaliknya, mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak mampu menterjemahkan begitu banyak ‘pesan tersirat’ dan aturan sosial yang membingungkan. Temple Grandin dalam salah satu bukunya bahkan menuturkan bahwa ia memutuskan untuk hidup lajang (=celibacy) agar terhindar dari situasi sosial yang begitu rumit dan sulit ia atasi. Seksualitas adalah integrasi dari perasaan, kebutuhan dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengungkapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita. Seks, sebaliknya, biasanya hanya didefinisikan sebagai jenis kelamin (pria atau wanita); atau kegiatan atau aktifitas dari hubungan fisik seks itu sendiri. Dalam makalah ini, seksualitas dibatasi sebagai pikiran, perasaan, sikap dan perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri. (Schwier & Hingsburger, 2000). Dengan demikian, bukan kegiatan hubungan seks yang akan dibahas, tapi bagaimana membantu anak autis memahami seksualitas secara keseluruhan agar ia berkembang sebagai pribadi yang ‘utuh’ dan ‘mandiri’. Seksualitas mencakup banyak faktor dan tidak bisa dilihat secara terpisah. Untuk dapat memahami seksualitas, kita harus memahami cinta kasih. Untuk dapat memahami cinta-kasih, kita harus memahami keterikatan (=bonding). Memahami ‘keterikatan’, kita harus memahami arti cinta tanpa pamrih. Dan tentu saja, untuk dapat memahami arti cinta tanpa pamrih, kita harus pernah merasakannya. (Schwier&Hingsburger, 2000). Sayangnya bagi individu dengan kebutuhan khusus ini, seringkali mereka kurang mendapatkan perlakuan penuh kasih dari lingkungan terdekatnya. Bahkan ada penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan lebih tertarik kepada bayi atau balita yang lucu, menggemaskan dan berespons dengan baik; tapi kurang tertarik kepada mereka yang kurang menarik. Apalagi anak autis seringkali kurang mampu berkomunikasi atau berespons sehingga lingkungan berasumsi bahwa anak-anak ini juga tidak paham stimulasi atau percakapan. Lingkungan lalu memutuskan untuk tidak mengajak bicara anak-anak ini, dengan pemikiran yang sangat sederhana “mereka ‘kan tidak mengerti”. Seringkali kesempatan anak-anak dengan kebutuhan khusus ini untuk bergaul dengan teman sebaya juga terbatas, sehingga mereka tidak punya pengalaman bergaul yang cukup untuk membentuk hubungan emosional yang sehat sesuai usia mereka. SEKSUALITAS PADA INDIVIDU AUTISTIC SPECTRUM DISORDER Selain gangguan perilaku dan gangguan komunikasi, masalah individu autis adalah dalam membentuk interaksi dengan orang lain. Masalah interaksi ini (DSM IV- R-2000), termanifestasi dalam bentuk gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik: kesulitan dalam menggunakan perilaku non-verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan isyarat untuk mengatur hubungan sosial kesulitan membentuk hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan tahap perkembangannyaketidak-mampuan untuk secara spontan mencari orang lain untuk tujuan berbagi kesenangan, minat atau keberhasilanketidak-mampuan membentuk hubungan sosio-emosional yang timbal balik. Dewey and Everad (1974) menjelaskan bahwa individu autis bisa merasa tertarik pada orang lain, tapi gaya ekspresi seksualitas mereka seringkali naif, tidak matang dan tidak sesuai dengan usianya. Gangguan autism mereka tampaknya menghambat mereka dalam memahami sinyal-sinyal tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar manusia. Jadi meskipun mereka mengalami perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan anak lain seusianya, tapi perkembangan emosi dan ketrampilan sosial mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka untuk berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain (dalam hal ini lawan jenis). Temple Grandin menjelaskan bahwa interaksi sosial yang bagi orang lain merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, baginya adalah hal yang paling sulit untuk ia pahami. Ia harus belajar melalui cara yang ‘coba-salah’ (=trial error) karena ia tidak paham harus berbuat apa. Bagi dia, manusia sulit ditebak, respons emosinya sangat rumit dan bergradasi, dan reaksi atas stimulus cenderung berubah-ubah. Ia harus terus menerus menalar interaksi sosial. Bahkan hingga kini, hubungan antar pribadi adalah hal yang tidak dipahami oleh Grandin. Untuk mempermudah dirinya sendiri, Grandin mengembangkan sistim untuk memahami interaksi sosial, yang ia sebut “Sins of the System”, yang terbagi atas 4 kelompok: 1. Really bad things. Misal: membunuh, membakar, mencuri dan berbagai larangan lain.2. Courtesy rules. Misal: tidak menerobos antrian, aturan saat makan, mengucapkan terima3. kasih, menjaga kebersihan diri. Hal-hal yang penting untuk membuat orang lain merasa nyaman. 4. Illegal but not bad. Misal: sedikit ngebut di jalan raya, parkir di tempat terlarang. Sins of the System (SOS). Misal: mengisap ganja, masuk penjara selama 10 tahun, dan perilaku seksual yang menyimpang. SOS adalah penalti yang sangat parah sehingga mengalahkan semua llogika. Kadang penalti untuk perilaku seksual menyimpang lebih parah daripada untuk pembunuhan. Karena Grandin sangat bingung akan muatan ‘emosional’ yang terkandung dalam aturan-aturan hubungan antar pribadi, ia bahkan tidak berani membicarakannya karena takut melanggar SOS. Grandin paham bahwa aturan SOS di sebuah lingkungan bisa diartikan sebagai perilaku yang dapat diterima, sementara di lingkungan yang berbeda belum tentu (standard di setiap lingkungan tidak sama). Sementara itu, 3 aturan lain lebih bersifat permanen dan berlaku pada semua lingkungan sehingga bisa lebih dimengerti oleh Grandin. Kekhawatiran Grandin melanggar SOS membuatnya memilih untuk hidup melajang. Menurut Grandin, ia terhindar dari aneka masalah karena pilihannya tersebut. Grandin menganjurkan individu lain dengan autism untuk memahami bahwa “perilaku tertentu tidak bisa ditoleransi”. Karena itu, biasanya individu autis memutuskan untuk hidup melajang, atau bila memutuskan untuk menikah sekalipun, biasanya menikah dengan pasangan yang memiliki gangguan serupa. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Grandin, sebuah survei atas 63 anak autis menunjukkan bahwa tidak satupun dari mereka menikah saat sudah dewasa (Rutter 1970). Kanner (1972) melakukan survei serupa pada 96 anak autis, tidak satupun secara bersungguh-sungguh memikirkan kemungkinan untuk menikah. Pada survei lain, 21 anak HFA (high-functioning autism) ditanya mengenai pengetahuan mereka, pengalaman dan keinginan mereka sehubungan dengan seksualitas (Ousley&Mezibov 1992). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak frustrasi pada pria autis dewasa karena perbedaan antara minat terhadap aktifitas seksual dan pengalaman seksual mereka. PENDIDIKAN SEKSUALITAS BAGI INDIVIDU AUTIS Menurut Adams (1997), tujuan pendidikan seks bagi individu autis adalah untuk membuat individu: 1. sadar dan menghargai ciri seksualitas diri sendiri 2. memahami perbedaan mendasar antara anatomi pria dan wanita, serta peran masing-masing jender dalam reproduksi manusia3. mengerti perubahan fisik dan emosi yang akan dialaminya, termasuk masalah-masalah seperti menstruasi, mimpi basah, perasaan yang berubah-ubah, tumbuhnya bulu di sekujur tubuh, perubahan bau badan dsb.4. memahami bahwa tidak ada seorangpun punya hak melakukan tindakan seksual atas dirinya tanpa izin5. memahami tanggung jawab yang terlibat bila kita memiliki keturunan6. memahami bahwa cara-cara kontrol kelahiran (metode keluarga berencana) harus dilakukan, kecuali anak memang dikehendaki dan dapat dirawat dengan baik serta bertanggung jawab7. memahami peran dan tanggung jawabnya dalam menjaga kesehatan diri dan orang lain tahu dan dapat mencari bantuan untuk masalah-masalah tertentu bilamana diperlukan (manakala terjadi pelecehan atau penularan penyakit)8. memahami makna norma masyarakat mengenai perilaku seksual yang pantas di lingkungannyaSambil mengingatkan bahwa setiap individu berbeda, Schwier & Hingsburger (2000) mengusulkan untuk mengajarkan beberapa hal sesuai usia mental anak: - Antara 3-9 tahun • Beda laki dan perempuan (anatomi, kebiasaan, emosi, tuntutanlingkungan dsb) • Beda tempat publik dan pribadi, nama anggota badan• Proses kelahiran bayiAntara 9-15 tahun• Menstruasi • Mimpi basah • Perubahan fisik lainnya • Cara mengenali dan mengatakan ‘tidak’ pada sentuhan seksual oleh orang lain • Proses ‘pembuahan’ yang menghasilkan bayi • Perasaan dan dorongan seksual • Masturbasi Usia 16 tahun dan lebih • Proses terjadinya hubungan antar pribadi • Proses berkembangnya dorongan seksual dan bagaimana mengatasinya • Homoseksualitas (perasaan senang pada teman sejenis) • Beda antara cinta kasih dan hubungan seks • Hukum dan konsekuensi dari menyentuh orang lain secara seksual • Pencegahan kehamilan, metode keluarga berencana • Penularan penyakit seksual • Tanggung jawab perkawinan dan memiliki anak Ada 2 (dua) jenis pengarahan yang diperlukan anak sehubungan dengan topik di atas, yaitu:1. Anak harus tahu batasan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dari perilakunya. Misal: tidak boleh membuka baju di depan orang lain, bagian tubuh mana dari orang lain yang masih pantas untuk disentuh (tangan, bahu), atau bagaimana menjaga kebersihan tubuh.2. Anak harus diajarkan dasar-dasar ketrampilan sosial. Tanpa dasar seperti ini, ia akan sulit memasuki tahapan yang lebih rumit dari hubungan antar manusia seperti persahabatan, cinta, perkawinan, sampai ke hubungan seks. Biasanya individu tersebut sendiri yang menunjukkan apakah ia memiliki kebutuhan untuk sekedar berteman atau membentuk hubungan antar individu yang lebih rumit. Dalam menetapkan kebutuhan pengajaran pada anak, diperlukan pengamatan intensif. Misal: Anto disuruh teman-teman sebayanya mendatangi seorang gadis dan menyentuh dada gadis tersebut. Atau, Ali yang berdiri di kamar mandi dan buang air kecil dengan celana yang diturunkan hingga ke mata kaki. Sekilas tampaknya perilaku-perilaku tersebut tergolong perilaku seksual yang tidak pantas, tapi sesungguhnya lebih mewakili ketidak tahuan anak akan ‘hukum aturan sosial’ yang berlaku. Anto tidak tahu bahwa tidak boleh asal menyentuh dada gadis, sementara Ali tidak tahu bagaimana kencing yang sepantasnya bagi pria dewasa. Tidak cukup hanya meminta anak membedakan bagian tubuh atau memahami bagaimana bayi terjadi. Penting mengintegrasikan aspek fisik, emosi dan sosial pada saat mengajarkan beberapa hal di atas. Anak harus mengerti sikap, nilai dan ketrampilan dasar tertentu untuk dapat berespons pada situasi yang berbeda-beda. Misalnya ketika belajar mengenai payudara-nya sendiri,seorang anak gadis harus tahu bahwa: • Payudara memiliki tujuan estetika dan tujuan fungsi (aspek fisik) • Payudara adalah bagian tubuh yang ‘pribadi’ (aspek sosial) • Tidak nyaman membicarakan bagian-bagian pribadi, maka penting menemukan seseorang yang bersedia menjawab pertanyaan dan masalah (aspek sosial) • Banyak cara menolak upaya-upaya yang tidak diinginkan bila seseorang berusaha menyentuh payudaranya (ketrampilan) • Kalau ada orang lain berusaha menyentuh payudaranya, ia mungkin akan merasa tidak nyaman (aspek emosional). Orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab atas proses pengajaran seksualitas pada anak. Bagaimanapun, rumah adalah daerah ‘pribadi’ dimana anak diharapkan mengekspresikan kebutuhan seksualitasnya. Orang tua berkesempatan memperkenalkan nama anggota tubuh melalui kegiatan sehari-hari, orang tua bisa membentuk rutinitas kebiasaan anak sehingga anak paham konsep-konsep ‘publik’ versus ‘pribadi’, orang tua dan saudara kandung juga bisa menjadi model perilaku bagi anak. Selain itu, orang tua juga harus dilibatkan karena banyak pertimbangan nilai moral yang perlu diputuskan sebelum langkah-langkah penanganan bisa diambil. Misal: bagaimana mensikapi kebutuhan anak akan ekspresi seksualitas, apakah seorang anak diperbolehkan masturbasi atau tidak, akan sangat tergantung pada pandangan orang tua. Bahaya pelecehan seksual oleh orang lain di luar keluarga juga menjadi alasan mengapa persiapan menghadapi masa remaja menjadi tanggung jawab orang tua. Bahaya tersebut tidak hanya dirasakan oleh orang tua anak perempuan, tetapi juga oleh orang tua anak laki. Beberapa metode yang bisa dilakukan untuk melakukan pendidkan seksual adalah : • penjelasan singkat dan harafiah, contoh-contoh konkrit, • saat-saat belajar yang ‘tidak sengaja’, • cerita sosial (=social stories), • pengulangan, • bermain peran (=role play), • tugas per langkah yang dipasangkan dengan alat bantu visual, ‘errorless teaching’, • latihan memasangkan gambar dengan tulisan, dan sebagainya. Bagaimanapun, penguat perilaku positif dan sikap menerima keadaan anak apa adanya adalah dasar paling penting bagi pendidikan seksualitas yang efektif efisien bagi anak-anak autis. Proses pengajaran berbagai konsep abstrak (antara lain: ‘publik’ dan ‘pribadi’) paling efektif dilakukan melalui teknik: - modeling (memberikan contoh) - penjelasan - pengulangan (terus menerus) Misal: mengajarkan cara berpakaian, lakukan di tempat pribadi. Tutup pintu kamar mandi atau kamar tidur dan jelaskan kepada anak bahwa ini adalah perilaku yang pribadi, jadi kita harus tutup pintu. Kalau anak melakukan kekeliruan dan, misalnya, menyentuh kelaminnya di supermarket ketika sedang menimbang buah, langsung katakan dengan suara yang tenang, “Menyentuh diri sendiri juga perilaku pribadi. Kita tidak menyentuh bagian tubuh pribadi di tempat umum.” Kalau tidak mungkin menarik anak ke daerah yang tertutup, coba alihkan perhatiannya ke hal lain dan diskusikan masalah ini begitu Anda sampai di rumah. Memberikan contoh adalah hal penting, karena itu orang tua dan lingkungan individu autis juga harus menjaga sikap mereka untuk dapat menghasilkan individu autis dewasa yang bertanggung jawab. Bila orang lain di rumah mondar-mandir tanpa baju yang pantas, tentu saja sulit memberi pengarahan pada anak autis untuk berpakaian secara rapi sebelum keluar dari kamar. Atau bila ibu keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang dililitkan, bagaimana pula anak paham bahwa ia harus berpakaian sebelum keluar dari kamar mandi? Mengajarkan konsep “apa”, lalu “kapan” dan “dimana” relatif lebih mudah dibanding mengajarkan “bagaimana” – yaitu dimana anak diajarkan untuk mengaplikasikan pengetahuan mengenai ketrampilan sosial dan seksualitasnya dalam situasi-situasi aktual. Berbagai pengajaran bagi individu dengan kebutuhan khusus yang bisa membantu mereka menyelesaikan masalah ‘pelecehan seksual’ adalah rumus sederhana berikut: No-Go-Tell. Mengatakan “Tidak” bukan hal mudah bagi seorang remaja yang didatangi orang lain yang lebih dari dia (lebih kuat, lebih tua, lebih matang, lebih percaya diri, lebih cerdas). Anak harus paham bahwa pribadi berarti tubuhnya adalah miliknya, dan tidak ada orang lain yang boleh asal sentuh bagian tubuhnya tanpa izinnya. Pergi, menuntut individu untuk mendobrak sesuatu. Dalam situasi yang penuh ketegangan, biasanya anak ditekan untuk melakukan sesuatu, bagaimana melakukannya, dan tidak boleh bilang-bilang. Untuk bisa pergi dari situasi seperti itu atau berusaha untuk lari, menuntut anak untuk paham bahwa tidak semua perintah harus dituruti. Mengatakan pada orang lain (=lapor), menuntut seseorang untuk melanggar janji atau melawan ancaman. Tidak mudah karena biasanya anak-anak ini berada di bawah tekanan dan kontrol dari jauh melalui ancaman. Untuk dapat melapor, anak harus paham bahwa ia yang menentukan fakta apa bisa dikatakan sebagai rahasia, dan ia yang menetapkan fakta apa yang bisa digolongkan sebagai ‘aman’. Lalu, KAPAN kita mulai proses pendidikan seksualitas ini ? Mengingat bahwa seksualitas mencakup begitu banyak aspek (pikiran, perasaan, sikap dan perilaku seseorang terhadap dirinya), maka proses pengajaran sudah seharusnya dimulai sejak usia dini. Setidaknya anak sudah dibekali mengenai aturan dan norma sosial yang berlaku yang membedakan antara sikap, perilaku pria & wanita dari yang paling sederhana (anatomi berbeda, toilet berbeda dsb) hingga yang paling abstrak (tanggung jawab dan kodrat). Pendidikan seksual merupakan sebuah proses berkesinambungan, berawal dari masa kanak hingga masa dewasa. Tujuannya bukan agar individu dapat info sebanyak mungkin, tetapi untuk dapat menggunakan informasi secara lebih fungsional. Untuk mengupayakan proses pendidikan seksualitas yang memiliki hambatan minimal, ada beberapa prinsip yang bisa dijadikan acuan dalam bertindak (Spragg, 2001): Ciptakan suasana keterbukaan sehingga anak tidak sungkan bertanya mengenai masalah seksualitas. Bila sikap kita menyiratkan “tabu”, atau “enggan”, maka anak lebih mendengarkan informasi dari luar rumah, yang mungkin saja tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Bila anak tampak tertarik dengan topik ini, gunakan saat tersebut untuk masuk ke dalam pembahasan. Biasanya bila ia mulai memperhatikan kehamilan, orang menyusui, perbedaan wanita & pria, dan sebagainya. Sebaliknya, bila anak tampak tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan, ini bukan alasan bagi kita untuk menunda diskusi mengenai masalah seksualitas. Bisa saja ia tidak tampak tertarik karena ia tidak percaya diri atau tidak yakin. Kita tidak bisa mengelak, karena perkembangan fisiknya segera akan membuatnya tersadar akan perubahan tersebut. Berikan informasi dasar yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan komunikasinya. Setidaknya, informasi mencakup anatomi, konsep bagian badan ‘pribadi’, sentuhan baik ><><>

Ketika Anak Autis mengalami masa Puber



Saat ini kasus Autisme pada anak kian meningkat, seakan kini telah menjadi “wabah” dalam masyarakat kita. Autisme merupakan fenomena yang masih menyimpan banyak rahasia walaupun telah diteliti lebih dari 60 tahun yang lalu, dan sampai sekarang belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan Autisme ini, sehingga pencegahan maupun penanganan yang tepatpun belum dapat dikembangkan.

Autisme merupakan salah satu dari begitu banyaknya kelainan bawaan pada anak, baik kelainan ini diketahui ketika anak dilahirkan maupun pada perkembangan anak selanjutnya. Autisme berasal dari kata ”auto” yang berarti sendiri. Istilah Autisme pertama kali digunakan oleh Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Maraknya penelitian seputar anak Autis, disebabkan meningkatnya jumlah penyandang Autisme yang semakin meningkat. Jumlah anak Autis makin bertambah. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autis akan semakin meningkat. Sekarang inipun dapat kita lihat maraknya pendirian sekolah khusus Autisme yang mengindikasikan peningkatan jumlah penderita Autisme.

Semakin berkembangnya penelitian mengenai anak Autis juga mencetuskan beberapa pertanyaan tentang bagaimana merawat anak autis itu sendiri, sebab merawat anak Autis tidaklah semudah merawat anak pada umumnya. Membesarkan anak Autis tidak hanya berarti pengorbanan fisik semata. Ketika orangtua menyadari kondisi anak dengan segala keberadaannya, reaksi pertama yang sudah dapat dipastikan muncul adalah terkejut dalam menerima kenyataan yang ada. Reaksi yang kedua adalah kemungkinan adanya penolakan. Secara rasional orangtua telah menyadari realita keberadaan anak dengan segala keterbatasannya, namun secara emosional masih kuat pengharapan akan kondisi yang disampaikan dalam diagnosa adalah salah, sehingga secara emosional terjadi penolakan akan hal tersebut. Penolakan tersebut mengakibatkan timbulnya beban dan konflik batin yang dialami orangtua yang memiliki anak Autis sehingga dapat mengakibatkan stres yang muncul dalam bentuk gejala-gejala psikosomatis. Bagaimana hal tersebut tidak mengakibatkan stres, pasalnya orangtua harus berhadapan dengan anak yang mereka sayangi namun seakan anak tersebut hidup didunianya sendiri dan sulit berinteraksi dengan orang lain.

Saat anak memasuki masa remaja, sudah menjadi hal yang umum bahwa timbul kecemasan pada orangtua, terlebih pada orangtua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus (Autisme). Ketakutan dan kekhawatiran akan perlakuan-perlakuan yang didapat dari lingkungan social tidak jarang menimbulkan kecemasan, perasaan sedih, marah, bahkan mungkin akan mengalami depresi ketika si anak memasuki masa remaja. Tentu saja, karna kita tahu bahwa banyak anak biasa yang tidak mampu melewati masa puber dengan baik, apalagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Bisa jadi tekanannya akan lebih berat. Kesulitan penanganan anak dengan kebutuhan khusus ketika menginjak masa remaja membuat banyak orangtua anak Autis mengalami kebingungan dalam memberikan penanganan yang tepat. Kesulitan memberikan pemahaman pada fese puber seperti cara menghadapi menstruasi pertama pada anak perempuan, keadaan labilnya emosional dan perkembangan psikoseksual anak pada masa itu membuat orangtua semakin diliputi rasa cemas.

Ada banyak kekhawatiran mengingat anak Autis memiliki hambatan dalam berkomunikasi, berperilaku, maupun dalam memahami tatanan sosial. Para Ibu anak-anak tersebut, yakni sebagai figur yang dekat dengan anak dibayangi kecemasan bahkan ketakutan akan terjadinya pelecehan seksual, perilaku anak yang tidak pantas dan memalukan di tempat-tempat umum seperti menggaruk garuk alat kelaminnya, menanggalkan pakaiannya, bahkan remaja dengan kebutuhan khusus ini dapat saja melakukan masturbasi dimanapun saat libidonya timbul.

Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwasanya masalah seputar seks masih tetap menjadi hal yang tabu dan tertutup di dalam tatanan masyarakat kita dan kecenderungannya adalah justru pada masa itu, kurang adanya pembahasan mendalam, khususnya untuk anak Autis itu sendiri dan hal tersebut dianggap sepenuhnya menjadi tanggung jawab orangtua dalam memberikan pengajaran.

Pada masa pubertas inilah seseorang berubah dari fisik anak-anak menjadi fisik dewasa sejalan dengan terjadinya perubahan hormonal di dalam tubuhnya. Perubahan fisik tersebut akan mempengaruhi pula keadaan psikis, kognitif dan sosial anak. Ketidak nyamanan pada tubuh yang mereka rasakan, ketidak pahaman mereka dalam menghadapi perubahan tersebut akan menimbulkan perilaku perilaku baru seperti menjadi mudah marah, emosi yang tidak terkontrol, melawan, bingung, berperilaku yang beresiko, maupun melakukan aktivitas seksual. Perilaku dan keadaan emosional anak tersebut mendorong ibu anak Autis untuk mampu menyeimbangkan berbagai kondisi yang cenderung menekan stabilitas kognisi dan afeksinya sehingga tidak terjerumus semakin jauh ke dalam bentuk depresi. Pada masa pubertas inilah, para orangtua anak Autis memiliki peran yang cukup besar dalam memberikan pemahaman tentang perubahan-perubahan yang dialami anak Autis tersebut, dan memberikan penanganan kepada anak berdasarkan masalah dan gejala perilaku psikoseksual yang nampak pada diri anak Autis.

pada masa puber, anak mengalami keadaan emosi yang labil dan gejolak seksualitas, sementara kita tahu bahwa anak Autis kurang mampu melakukan hubungan emosional timbal balik, memiliki keadaan emosional yang tidak stabil, dan beragam keterbatasan lain, seperti ciri utama yang menonjol yakni kesendirian yang amat sangat. Hal tersebut menjadi penyebab timbulnya banyak kendala bagi orangtua anak Autis dalam memberikan penanganan tentang masalah pubertas. Oleh sebab orangtua haruslah mempersiapkan datangnya masa pubertas baik dalam hal memberikan pengajaran seks education maupun pendampingan perawatan diri..

Senin, 09 Februari 2009

Pubertas Pada Anak Kebutuhan Khusus

Pubertas Pada Remaja Dengan Kebutuhan Khusus
Dipublikasi pada selasa 10 Februari 2009 oleh SMP PATMOS TEAM 

Adalah hal yang umum bahwa saat anak anak memasuki masa remaja, timbul kecemasan kecemasan pada orang tua; terlebih pada orang tua dari anak anak dengan kebutuhan khusus (anak anak autistik, down syndrome, gangguan mental, dsb). Mereka memiliki lebih banyak kekhawatiran mengingat anak dengan kebutuhan khusus memiliki hambatan dalam berkomunikasi, berperilaku juga dalam memahami tatanan sosial. 

Para orang tua anak anak tersebut dibayangi kecemasan bahkan ketakutan akan terjadinya pelecehan seksual, perilaku anak yang tidak pantas dan memalukan di tempat tempat umum seperti menggaruk garuk alat kelaminnya, menanggalkan pakaiannya, bahkan remaja dengan kebutuhan khusus ini dapat saja melakukan masturbasi dimanapun saat libidonya timbul. Perilaku seperti itu pada akhirnya bukan saja memalukan tetapi mendatangkan permasalahan baru, dimana orang tua harus berhadapan dengan masyarakat yang tidak dapat memahami keadaan yang sebenarnya. Yang lebih menghawatirkan adalah sekolah sekolah tempat mereka mengikuti proses belajar mengajar, termasuk sekolah sekolah umum yang menyatakan diri menerima murid dengan kebutuhan khusus, menolak keberadaan anak anak tersebut di sekolah jika dalam batas waktu yang diberikan, perilaku seksual anak tidak berubah. Sungguh keadaan yang sangat ironis. Tampaknya isu pubertas ini, khususnya pada anak anak dengan kebutuhan khusus, masih ditanggapi secara dangkal dan belum disikapi secara bijak. Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwasanya masalah seputar sex masih tetap menjadi hal yang tabu dan tertutup di dalam tatanan masyarakat kita dan kecenderungannya adalah bahwa hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua untuk mengajarkannya. Dalam menanggapi kecemasan para orang tua, beberapa waktu yang lalu SARANA telah mengadakan acara diskusi yang mengangkat tema “Pubertas pada remaja dengan kebutuhan khusus”. 

Aspek Fisiologis

Dr Irmia Kusumadewi SpKJ(K)  menyampaikan bahwa anak anak dengan kebutuhan khusus yang beranjak dewasa, sama halnya dengan anak anak seusianya, akan mengalami masa pubertas. Awal masa pubertas setiap individu berbeda beda, namun secara umum hal ini akan terjadi pada usia 9 – 14 tahun pada anak perempuan dan 10 – 17 tahun pada anak laki laki. Proses ini akan berlangsung selama 1 sampai 6 tahun. 


Pada masa pubertas seseorang berubah dari fisik anak anak menjadi fisik dewasa sejalan dengan terjadinya perubahan hormonal di dalam tubuhnya. Perubahan fisik ini ditandai dengan antara lain tumbuhnya bulu di ketiak, pembesaran buah dada pada anak perempuan, testis yang membesar pada anak laki laki, dst. Sementara itu, yang dimaksud dengan terjadinya perubahan hormonal pada anak perempuan adalah keadaan dimana ovarium sudah mulai memproduksi hormon estrogen dan progesteron sehingga dapat terjadi ovulasi jika dibuahi dan menstruasi jika tidak dibuahi. Sedangkan pada anak laki laki, adanya perubahan hormonal menyebabkan testis mulai memproduksi hormon testosteron dan diproduksinya sperma. Disamping itu, perubahan fisik tersebut akan mempengaruhi pula keadaan psikis, kognitif dan sosial anak. Ketidak nyamanan pada tubuh yang mereka rasakan, ketidak pahaman mereka dalam menghadapi perubahan tersebut akan menimbulkan perilaku perilaku baru seperti menjadi mudah marah, melawan, bingung, berperilaku yang beresiko, eksperimen terhadap zat, problem sekolah, keluhan psikosomatis, aktivitas seksual, dsb. Menurut dr. Mia, pada keadaan yang sulit untuk dikendalikan, dapat saja terjadi seorang anak dalam masa pubertas memerlukan bantuan terapi psikofarmaka seperti obat obatan anti kejang, anti depresan, anti psikotik dengan pengawasan ahli medis. 

Aspek Psikologis
Dengan adanya beragam keterbatasan yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahannya sekarang adalah bagaimana memberi pemahaman pada anak anak dan remaja dengan kebutuhan khusus tentang masalah pubertas; serta bagaimana orang tua, terapis, guru, pengasuh menyikapi masa ini secara bijaksana. Dari sudut pandang psikologis, Dra. Endang Retno Wardhani menyarankan agar orang tua sudah mengantisipasi akan datangnya masa pubertas jauh hari sebelumnya sehingga anak anak tersebut dapat dipersiapkan menghadapinya melalui beragam pengenalan, penjelasan dan pemahaman yang diperlukan. Pendampingan orang tua dalam hal ini berkaitan dengan pengolahan kematangan pemahaman anak terhadap aspek konsep diri, pemahaman perubahan fisik, pengenalan peran dalam interaksi sosial serta pengenalan bina diri (self care). Mengingat pembelajaran yang bersifat visual akan jauh lebih mudah dipahami anak, seorang ayah dapat saja mengajari anak laki lakinya tentang perubahan fisik saat mandi bersama, sementara seorang ibu dapat mengajari anak perempuannya seputar menstruasi. Role model dari masing masing gender adalah perlu dalam hal ini. Seberapa cepat anak dapat mengerti hal tersebut sangat bergantung pada tingkat kemampuan pemahaman anak. Disamping itu, anakpun perlu disibukkan dengan beragam kegiatan untuk mengisi hari harinya. Selain untuk membantu mengaktualisasikan diri, memperbanyak kegiatan yang melibatkan fisik dapat membantu mereka meredam gejolak emosi dan dorongan seksualnya. 

Aspek Pedagogis
Hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam proses pengajaran adalah penggunaan terminologi baku pada saat memperkenalkan bagian vital tubuh manusia. Adalah penting untuk memberi penamaan yang sebenarnya untuk alat kelamin laki laki (penis) misalkan dan bukan disamarkan menjadi “burung”. Tujuannya adalah untuk mencegah salah pengertian ataupun kesalah pahaman di kemudian hari. Pernyataan tersebut mengemuka saat para pembicara dari Sekolah Cita Buana Jakarta menyampaikan pengalaman mereka selaku pengajar di unit khusus bagi murid murid dengan kebutuhan khusus di sekolah tersebut. Ibu Ninong dan Ibu Aimee memaparkan tahap tahap yang mereka lakukan dalam mempersiapkan murid muridnya memasuki masa pubertas. Ada 3 aspek yang perlu diiajarkan kepada mereka; yang pertama pentingnya pemahaman konsep diri (self) sejak dini termasuk pemahaman akan konsep keluarga (family) dengan membuat pohon keluarga (family tree) sebagai alat bantu visual. Yang kedua, anak anak juga perlu diperkenalkan adanya tempat tempat yang bersifat umum/publik (contoh: mall, ruang tamu, dapur, kendaraan umum, ruang kelas, dsb); tempat tempat yang bersifat pribadi/privat (kamar tidur, kamar mandi, WC, WC umum yang kesemuanya itu bersifat privat jika dalam keadaan PINTU TERTUTUP) berikut perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas dilakukan disana. Hal yang ketiga adalah mengajarkan protective behaviour melalui konsep lingkaran (circle concept) yang menjadi salah satu strategi agar anak dapat melindungi dirinya, membela dirinya. Melalui konsep ini diajarkan pula pentingnya menjaga ruang pribadi (personal space) mereka dan juga ruang pribadi orang lain. Mereka harus belajar mengatur jarak jika berada dekat dengan orang lain serta menolak keberadaan orang lain yang memasuki ruang pribadi mereka. Personal space ini berupa lingkaran maya yang radiusnya berukuran minimum sepanjang lengan anak. Selanjutnya, pada materi yang sama, anak anak diajarkan untuk memahami keberadaan mereka di dalam komunitas, termasuk mengenali siapa siapa saja yang berada dalam kelompok orang orang terdekat yang boleh dicium, dipeluk; siapa siapa saja yang cukup disapa dengan berjabatan tangan, serta siapa siapa saja yang tidak perlu disapa, terlebih dipeluk atau dicium. Yang terakhir ini adalah mereka yang berada di lingkaran terluar yaitu orang orang yang tidak mereka kenal (stranger). Melalui pengajaran yang bersifat visual, bermain peran, diskusi kelompok; anak anak diharapkan akan lebih mudah dan cepat memahami konsep yang pada intinya bersifat abstrak ini. Suasana yang akrab juga harus diciptakan agar anak anak merasa nyaman untuk berbagi kepada guru dan teman temannya bahkan menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya. Generalisasi dari pembelajaran ini dilakukan saat murid murid mengunjungi fasilitas umum/ publik dibawah pengawasan team guru. 

Aspek Orang tua
Sementara itu, Adriana Ginanjar - orang tua dari remaja berkebutuhan khusus - pada kesempatan yang sama memaparkan pengalamannya dalam menghadapi anak laki lakinya yang memasuki masa pubertas. Persiapan yang ia lakukan sejak 3 tahun yang lalu, adalah menjadwalkan kegiatan dimana lebih banyak role model laki laki yang hadir dalam kegiatan anaknya seperti berekreasi dengan ayah, paman disamping memperbanyak aktivitas fisik seperti berenang. Iapun berupaya agar anak memiliki cukup ruang gerak pribadi seperti menyediakan kamar tidur sendiri, memberikan pilihan pilihan dan tidak memaksakan jika anak menolak melakukan hal yang tidak ia inginkan. Disimpulkannya bahwa tugas terberat dan tersulit yang ia hadapi sebagai seorang ibu yang juga psikolog adalah dalam menjelaskan masalah seks dan cara mengekspresikan dorongan seksual kepada anaknya. Sebagai orang tua, iapun perlu terus menambah wawasan mengenai remaja dengan kebutuhan khusus melalui buku buku, seminar, dsb. Menurutnya, perjalanan yang harus ia tempuh masih sangat panjang dalam mendidik dan menanamkan pengertian kepada anaknya seputar masalah pubertas ini. 

Pada akhirnya, para pembicara sepakat bahwa dalam menyikapi masa pubertas pada remaja dengan kebutuhan khusus diperlukan kesabaran yang tinggi, pengajaran yang berulang ulang disertai alat bantu visual serta waktu yang lama. Untuk tercapainya tingkat kesuksesan dalam pembelajaran, kerjasama team yang terdiri atas orang tua, guru dan profesi lain yang terkait seperti psikolog, dokter perlu dijalin dengan erat.