pencarian

Rabu, 27 Mei 2009

Mengenal Autisme pada Anak


Mengenal Autisme pada Anak

By Kurnia Septa

TIGA tahun yang lalu, Ny. Eka dibuat pusing tujuh keliling oleh sikap anak keduanya, Anang, yang masih berusia tiga tahun. Si anak terlihat cuek dan tak pernah menanggapi ketika diajak bicara. Bicaranya pun tak menentu arah. Karena khawatir akan perkembangan anaknya, ibu muda warga Bandar Lampung ini lalu ke dokter untuk konsultasi tentang bujang ciliknya. Hasil diagnosis dokter, si anak menderita autisme tingkat dini. Ny. Eka panik. Namun, dokter menyebutkan autisme tingkat dini berpeluang besar untuk sembuh dengan perlakuan teratur.

Apa itu autisme? Banyak sekali definisi yang beredar tentang autisme. Tetapi secara garis besar, autisme adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pada anak-anak biasa disebut dengan autisme infantil.

Skizofrenia juga merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri, seperti berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri.

Tetapi ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada penderita skizofrenia dan penyandang autisme infantil. Skizofrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa (baca Lampung Post edisi Minggu, 24 Februari 2008). Sedangkan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan.

Autisme tidak dapat langsung diketahui pada saat anak lahir atau pada screening prenatal, yaitu tes yang dilakukan ketika anak masih berada dalam kandungan.

Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir.

Seorang Ibu yang cermat memonitor perkembangan anaknya dapat melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata.

Gejala-gejala tersebut bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Selain itu, perilaku anak autisme biasanya berlawanan dengan berbagai keadaan yang terjadi dan tidak sesuai dengan usianya.

Penyebab yang pasti dari autisme belum diketahui, yang pasti hal tersebut bukan disebabkan pola asuh yang salah. Penelitian terbaru menunjukkan adanya kelainan biologis dan neurologis di otak, termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik, dan gangguan kekebalan.

Penanganan Anak Autisme

Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autisme atau tidak, digunakan standar internasional tentang autisme, yaitu ICD-10 1993 dan DSM-IV 1994 yang merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme infantil. Kedua metode diagnosis tersebut isinya sama dan dipakai di seluruh dunia.

Harus ada sedikitnya enam gejala dari tiga indikator yang ada, dengan minimal dua gejala dari satu indikator pertama dan masing-masing satu gejala dari indikator kedua dan ketiga.

Indikator pertama. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada dua dari gejala di bawah ini: Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya. Tak ada empati atau tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

Indikator kedua. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, terlambat bicara atau sama sekali tak berkembang.

Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara nonverbal. Bila anak bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru.

Indikator ketiga. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan.

Sebelum umur tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam interaksi sosial, bicara dan berbahasa, serta cara bermain yang monoton, kurang variatif.

Namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autisme yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktivitas.

Orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan anak. Seperti anak-anak lainnya, anak autisme mampu belajar melalui permainan.

Bergabunglah dengan anak ketika dia sedang bermain, tariklah anak dari perilaku dan ritualnya yang sering diulang-ulang, dan tuntunlah mereka menuju kegiatan yang lebih beragam.

Tujuan dari pengobatan tersebut untuk membuat anak autisme berbicara. Tetapi sebagian anak autis tidak dapat bermain dengan baik, padahal anak umumnya mempelajari kata-kata baru melalui permainan.

Sebaiknya orang tua tetap berbicara kepada anak yang autisme, sambil menggunakan semua alat komunikasi dengan mereka, baik berupa isyarat tangan, gambar, foto, lambang, bahasa tubuh maupun teknologi.

Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada.

Berdasarkan data terakhir, di Indonesia ada dua penyandang autisme yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup normal dan berprestasi.

Kembali ke permasalahan Ny. Eka, ternyata Anang yang kini tengah duduk di bangku SD sudah seperti anak normal lainnya. Bahkan, prestasi di sekolahnya juga sangat baik, ia selalu masuk lima besar peringkat kelas.

"Saat mengetahui anak saya sakit, saya kaget dan khawatir sekali kalau-kalau ia akan autisme hingga besar. Tetapi alhamdulillah, lewat ketekunan terapi dan mendampingi dengan ekstrasabar, akhirnya anak saya bisa seperti anak normal lainnya," ujar Ny. Eka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar