pencarian

Rabu, 25 Februari 2009

Ketika Anak Autis mengalami masa Puber



Saat ini kasus Autisme pada anak kian meningkat, seakan kini telah menjadi “wabah” dalam masyarakat kita. Autisme merupakan fenomena yang masih menyimpan banyak rahasia walaupun telah diteliti lebih dari 60 tahun yang lalu, dan sampai sekarang belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan Autisme ini, sehingga pencegahan maupun penanganan yang tepatpun belum dapat dikembangkan.

Autisme merupakan salah satu dari begitu banyaknya kelainan bawaan pada anak, baik kelainan ini diketahui ketika anak dilahirkan maupun pada perkembangan anak selanjutnya. Autisme berasal dari kata ”auto” yang berarti sendiri. Istilah Autisme pertama kali digunakan oleh Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Maraknya penelitian seputar anak Autis, disebabkan meningkatnya jumlah penyandang Autisme yang semakin meningkat. Jumlah anak Autis makin bertambah. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autis akan semakin meningkat. Sekarang inipun dapat kita lihat maraknya pendirian sekolah khusus Autisme yang mengindikasikan peningkatan jumlah penderita Autisme.

Semakin berkembangnya penelitian mengenai anak Autis juga mencetuskan beberapa pertanyaan tentang bagaimana merawat anak autis itu sendiri, sebab merawat anak Autis tidaklah semudah merawat anak pada umumnya. Membesarkan anak Autis tidak hanya berarti pengorbanan fisik semata. Ketika orangtua menyadari kondisi anak dengan segala keberadaannya, reaksi pertama yang sudah dapat dipastikan muncul adalah terkejut dalam menerima kenyataan yang ada. Reaksi yang kedua adalah kemungkinan adanya penolakan. Secara rasional orangtua telah menyadari realita keberadaan anak dengan segala keterbatasannya, namun secara emosional masih kuat pengharapan akan kondisi yang disampaikan dalam diagnosa adalah salah, sehingga secara emosional terjadi penolakan akan hal tersebut. Penolakan tersebut mengakibatkan timbulnya beban dan konflik batin yang dialami orangtua yang memiliki anak Autis sehingga dapat mengakibatkan stres yang muncul dalam bentuk gejala-gejala psikosomatis. Bagaimana hal tersebut tidak mengakibatkan stres, pasalnya orangtua harus berhadapan dengan anak yang mereka sayangi namun seakan anak tersebut hidup didunianya sendiri dan sulit berinteraksi dengan orang lain.

Saat anak memasuki masa remaja, sudah menjadi hal yang umum bahwa timbul kecemasan pada orangtua, terlebih pada orangtua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus (Autisme). Ketakutan dan kekhawatiran akan perlakuan-perlakuan yang didapat dari lingkungan social tidak jarang menimbulkan kecemasan, perasaan sedih, marah, bahkan mungkin akan mengalami depresi ketika si anak memasuki masa remaja. Tentu saja, karna kita tahu bahwa banyak anak biasa yang tidak mampu melewati masa puber dengan baik, apalagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Bisa jadi tekanannya akan lebih berat. Kesulitan penanganan anak dengan kebutuhan khusus ketika menginjak masa remaja membuat banyak orangtua anak Autis mengalami kebingungan dalam memberikan penanganan yang tepat. Kesulitan memberikan pemahaman pada fese puber seperti cara menghadapi menstruasi pertama pada anak perempuan, keadaan labilnya emosional dan perkembangan psikoseksual anak pada masa itu membuat orangtua semakin diliputi rasa cemas.

Ada banyak kekhawatiran mengingat anak Autis memiliki hambatan dalam berkomunikasi, berperilaku, maupun dalam memahami tatanan sosial. Para Ibu anak-anak tersebut, yakni sebagai figur yang dekat dengan anak dibayangi kecemasan bahkan ketakutan akan terjadinya pelecehan seksual, perilaku anak yang tidak pantas dan memalukan di tempat-tempat umum seperti menggaruk garuk alat kelaminnya, menanggalkan pakaiannya, bahkan remaja dengan kebutuhan khusus ini dapat saja melakukan masturbasi dimanapun saat libidonya timbul.

Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwasanya masalah seputar seks masih tetap menjadi hal yang tabu dan tertutup di dalam tatanan masyarakat kita dan kecenderungannya adalah justru pada masa itu, kurang adanya pembahasan mendalam, khususnya untuk anak Autis itu sendiri dan hal tersebut dianggap sepenuhnya menjadi tanggung jawab orangtua dalam memberikan pengajaran.

Pada masa pubertas inilah seseorang berubah dari fisik anak-anak menjadi fisik dewasa sejalan dengan terjadinya perubahan hormonal di dalam tubuhnya. Perubahan fisik tersebut akan mempengaruhi pula keadaan psikis, kognitif dan sosial anak. Ketidak nyamanan pada tubuh yang mereka rasakan, ketidak pahaman mereka dalam menghadapi perubahan tersebut akan menimbulkan perilaku perilaku baru seperti menjadi mudah marah, emosi yang tidak terkontrol, melawan, bingung, berperilaku yang beresiko, maupun melakukan aktivitas seksual. Perilaku dan keadaan emosional anak tersebut mendorong ibu anak Autis untuk mampu menyeimbangkan berbagai kondisi yang cenderung menekan stabilitas kognisi dan afeksinya sehingga tidak terjerumus semakin jauh ke dalam bentuk depresi. Pada masa pubertas inilah, para orangtua anak Autis memiliki peran yang cukup besar dalam memberikan pemahaman tentang perubahan-perubahan yang dialami anak Autis tersebut, dan memberikan penanganan kepada anak berdasarkan masalah dan gejala perilaku psikoseksual yang nampak pada diri anak Autis.

pada masa puber, anak mengalami keadaan emosi yang labil dan gejolak seksualitas, sementara kita tahu bahwa anak Autis kurang mampu melakukan hubungan emosional timbal balik, memiliki keadaan emosional yang tidak stabil, dan beragam keterbatasan lain, seperti ciri utama yang menonjol yakni kesendirian yang amat sangat. Hal tersebut menjadi penyebab timbulnya banyak kendala bagi orangtua anak Autis dalam memberikan penanganan tentang masalah pubertas. Oleh sebab orangtua haruslah mempersiapkan datangnya masa pubertas baik dalam hal memberikan pengajaran seks education maupun pendampingan perawatan diri..

1 komentar:

  1. mendidik anak sangat perlu untuk hati-hati, jangan sampai salah dalam mendidik anak sehingga membuat anak menjadi orang yang pesimis, minder dan lain-lain.karena didikan ortu dapat membentuk kepribadian anak.

    -----------------------------------
    Bagaimana cara mendidik anak agar sukses dan bahagia di anekapilihan.com

    BalasHapus