pencarian

Minggu, 26 April 2009

Jangan Abaikan Sibling ABK

Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah mereka yang menderita cacat fisik, keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan pemusatan perhatian, autis, kesulitan belajar, dan epilepsi. Umumnya mereka butuh perhatian lebih dari orangtua dan juga saudara yang lain. Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah mereka yang menderita cacat fisik, keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan pemusatan perhatian, autis, kesulitan belajar, dan epilepsi. Umumnya mereka butuh perhatian lebih dari orangtua dan juga saudara yang lain. Sementara saudara sekandung (sibling) ABK seringkali tersisihkan dalam hal perhatian. 

Stres yang dirasakan oleh sibling biasanya lebih tinggi, bukan saja karena tingkah laku ABK, tetapi juga perbedaan pola pengasuhan orangtua dan adanya tanggung jawab tambahan. Biasanya perhatian orangtua tersedot ke ABK, dan kebutuhan sibling terabaikan. Contoh sederhana, ketika ABK dapat berkata “Papa mama”, dia mendapat pujian, sedangkan bila sibling berprestasi, orangtua menganggapnya sebagai hal biasa. 

Sesungguhnya, sibling ABK juga akan memiliki pengalaman, kebutuhan, dan perasaan yang khusus dibandingkan teman sebaya mereka pada umumnya. 

Orangtua perlu menyadari kebutuhan, pemikiran, perasaan dari sibling agar dapat membantu mereka menyesuaikan diri dengan baik, di rumah maupun di sekolah. 

Bagaimana perasaan anak yang memiliki saudara kandung dengan kebutuhan khusus? 

* Perasaan malu 

Rasa malu sering dialami sibling akibat penampilan fisik ABK yang tidak normal (menggunakan kursi roda, cacat fisik) atau tingkah laku yang ‘aneh’ (bersuara tidak biasa, bicara memalukan). Belum lagi berbagai komentar negatif dari teman di sekolah atau anggota keluarga. Hal ini bisa membuat sibling menarik diri dari pergaulan. 

* Merasa bersalah 

Sebagian sibling merasa bersalah karena merasa bahwa merekalah penyebab kakak/adiknya mengalami gangguan. Mereka kadang juga merasa bersalah karena normal, sementara ABK sering berobat, sulit bicara, memiliki keterbatasan, kurang pandai di sekolah. Pada anak yang beranjak dewasa, ada rasa bersalah bila meninggalkan rumah untuk kuliah atau bila tidak ikut merawat ABK. 

* Merasa sendirian, kurang perhatian, dan kesepian 

Sibling seringkali merasa terisolasi, tidak ada yang bisa memahami perasaannya, dan tidak ada teman lain yang senasib. Umumnya sibling enggan mengajak teman-temannya bermain ke rumah karena malu memiliki kakak/adik yang berperilaku ‘aneh’. Bila dalam keluarga hanya terdapat 2 anak maka sibling sangat berharap memiliki kakak/adik yang bisa diajak ngobrol. 

* Marah dan kesal 

Ini bersumber dari perlakuan orangtua yang dirasakan tidak adil. Mereka harus mengikuti aturan, mendapat tanggungjawab tambahan, kurang diperhatian. Sementara ABK cenderung dimanja dan amat diperhatikan. Sibling sering kesal bila barang-barangnya dirusak akibat agresifitas dari ABK. Kadang-kadang sibling marah kepada orang-orang yang menertawakan ABK, bahkan kepada Tuhan karena tidak memberi adik/kakak yang normal. 

* Cemburu dan iri 

Sibling merasa perlakukan dan perhatian orangtua cenderung berat sebelah, kadang sibling ingin menjadi ABK demi memperoleh perhatian dan tidak dituntut terlalu tinggi. Mereka merasa sudah berprestasi namun kurang mendapat pujian dan penghargaan dari orangtua. 

* Khawatir dan cemas 

Kurangnya informasi tentang ABK, tanggung jawab berlebihan, tidak bisa memenuhi tuntutan orangtua, sampai membayangkan masa depan ABK membuat sibling diliputi kekhawatiran. Kecemasan berlebihan dapat muncul dalam bentuk simptom fisik, prestasi tidak optimal, menarik diri, tingkah laku agresif. 

Berikan informasi yang tepat 

Sibling amat membutuhkan informasi yang tepat mengenai masalah pada ABK, karenanya berikan penjelasan sesuai dengan usia dan pemahaman anak. Jangan menutup kondisi anak atau memberikan informasi yang tidak tepat. Bila orangtua bersikap terbuka dan bisa menerima kondisi ABK, proses penerimaan pada sibling juga lebih cepat. 

Waktu khusus 

Bila Anda selama ini banyak meluangkan waktu untuk ABK, luangkan waktu khusus bersama sibling sehingga kegiatan yang dilakukan tidak terganggu. Ciptakan suasana di mana sibling merasa bahwa dirinya juga istimewa dan memperoleh perhatian penuh dari orangtua. 

Tanggung jawab yang sesuai 

Tanpa disadari orangtua sering memberi tanggung jawab berlebih pada sibling---terutama kakak/adik perempuan. Beri tanggung jawab secara bertahap sesuai usia sibling (bandingkan dengan teman sebayanya) dan beri kesempatan bagi sibling untuk memilih tugasnya. Jangan lupa, ungkapkan penghargaan secara tulus atas kerja keras sibling dalam menjaga dan menemani ABK. 

Dengarkan dengan empati 

Sibling biasanya memiliki banyak emosi negatif, mereka butuh orangtua yang mau mendengarkan tanpa memberi penilaian atau kritik. Luangkan waktu untuk berbicara dengan sibling, pahami dan terimalah pemikiran serta perasaannya. Luangkan waktu Anda untuk berbicara dengan sibling, pahami dan terima pemikiran serta perasaannya. Jangan tuntut sibling untuk menjadi anak yang tegar. 

Beri penghargaan 

Sama halnya dengan orangtua, sibling juga menghadapi masa-masa sulit dalam menyesuaikan diri dengan kondisi ABK. Berikan penghargaan dengan tulus atas segala usaha dan bantuan yang telah dilakukannya. 

Berikan kesempatan yang luas bagi sibling untuk mengembangkan diri di luar rumah, misalnya dengan mengikuti olahraga, musik, seni, berbagai lomba, dan sebagainya. Selain mengurangi stres, kegiatan ini bisa memberi rasa bangga jika mereka berhasil berprestasi. 

Berkumpul dengan sesama sibling ABK merupakan kegiatan yang amat bermanfaat, sebagai ajang untuk saling berbagi pengalaman dan memperoleh dukungan emosional. Jika perlu ikut sertakan sibling dalam kegiatan Siblings Support Group. Seperti halnya orangtua, sibling ABK membutuhkan kelompok yang memahami pengalaman khusus mereka. 

Karakter positif 

Selama orangtua berhasil menanamkan pengertian dan memerhatikan mereka dengan baik, sibling memiliki karakteristik positif: 

* Senang membantu orang lain 

* Menghargai perbedaan 

* Memahami perasaan orang lain 

* Lebih matang secara emosional 

* Bangga akan prestasi kakak/adik ABK 

* Motivasi yang tinggi untuk berprestasi 

Referensi: 

1. Meyer, Donald J. & Vadasy, Patricia. Living with a brother or sister with special needs, II-nd ed. Washington: The University of Washington Press. 

2. Meyer, Donald J. & Vadasy, Patricia, 1994. Workshop for siblings of children with special needs, Baltimore: Paul H. Brookes Pub co.

Jika Anak Berkebutuhan Khusus Mulai Puber

oleh
Asuhan Hidayat (Dosen PLB & Psikiologi FIP UPI)

Pengasuh yang kami hormati. Kami mempunyai seorang anak-anak laki-laki (18 tahun) dan sejak SD sudah didiagnosis autis. Saat ini dia duduk di kelas 11 SMA di kota Bandung. 

Orang di sekitar dia banyak memberikan perhatian kepadanya. Suatu saat kami ajak berkunjung ke rumah keluarga, dan seorang sepupu wanitanya menunjukkan perhatian kepadanya. Tapi begitu tunangan sepupunya itu datang, tentu perhatian berpindah. Anak kami tidak bisa menerima hal ini dan terus menerus berusaha memperoleh perhatian sepupunya kembali. Ketika perhatian tersebut tidak diperolehnya, dia marah kepada kami dan orang-orang di sekitanrnya. 

Kadangkala dia juga menunjukkan perilaku lain yang kurang patut seperti adanya dorongan seks dengan diikuti tindakan menggosok-gosok alat kelaminnya, membuka baju sembarangan, menyentuh orang lain dengan cara yang tidak dapat diterima, atau mengembangkan ketertarikan berlebihan pada orang-orang tertentu. Perilaku seperti ini sangat mencemaskan kami. Oleh karena itu saya ingin memperoleh penjelasan, yaitu (1) apakah perilaku anak saya tersebut pertanda masa puber? (2) bagaimana caranya saya membimbing dan memberi penjelasan padanya supaya memahami dengan baik cara menghadapi masalah pubertas? Terima kasih.

Lusi Perwitasari di Bandung 

Tampaknya persoalan pubertas ini, khususnya pada anak berkebutuhan khusus (ABK), masih ditanggapi secara dangkal dan belum disikapi secara bijak. 

Pada masa pubertas, individu dewasa pada umumnya memiliki banyak masalah yang sama dengan individu berkebutuhan khusus. Dalam hal komunikasi misalnya, ada masalah hubungan sosial-interpersonal, mencari pekerjaan, kesehatan dan masalah menghadapi pubertas. Sebagian besar individu berkebutuhan khusus sulit memahami hukum sosial. Sering kali individu autistik laki-laki begitu saja mendatangi wanita yang ia sukai dan langsung bertanya apakah wanita tersebut mau pergi dengannya. Demikian pula munculnya perilaku menggosok-gosok alat kelaminnya di depan orang banyak, karena dia berpikir itulah salah satu cara memperoleh kepuasan. 

Bagaimana kita mencoba mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut? Howlins (1997) mengusulkan beberapa cara, 1) Menumbuhkan kesadaran akan diri sendiri, 2) Memperluas kontak sosial, 3) Menghindari potensi terjadinya masalah, sejak masa kanak-kanak, 4) Pendidikan seksual, 5) Meningkatkan mutu kehidupan secara keseluruhan.

Banyak permasalahan pubertas yang dialami oleh remaja. Sebagian individu autistik dan berkebutuhan khusus lainnya mampu mengembangkan strategi penyesuaian diri, walaupun hal ini lebih merupakan upaya "menghindari" dan bukannya menangani permasalahan. Pendekatan efektif lainnya adalah dengan meningkatkan kontak sosiai. Misalnya kesempatan untuk bergaul dengan orang lain seusia dan seminat, akan mengurangi tuntutan memiliki hubungan intim dengan orang lain. Mereka tetap membina kontak, tetapi tidak terpaku pada keinginan untuk membina hubungan intim.

Sejak masa kanak-kanak, penting sekali menghindari perilaku yang bisa mengarah pada masalah di masa depan, misalnya membuka pakaian anak di muka umum, keinginan anak untuk menyentuh payudara atau kaki orang lain. Pada saat mereka kecil mungkin hal ini dianggap lucu, tapi saat mereka berkembang remaja hal ini sudah tidak lucu lagi, bahkan tidak patut.

Satu-satunya langkah paling efektif adalah menghalangi terjadinya perilaku tersebut secara tegas dan konsisten. Aturan harus jelas dan tidak bermakna ganda, termasuk mengenai dimana berpakaian atau berganti pakaian, topik apa yang dapat dibicarakan bersama orang yang baru dikenal, sampai ke aturan dimana dan kapan bisa masturbasi. Selain pengertian tentang perubahan fisik, aspek sosial, keterampilan dan emosional. Penting juga mengembangkan perasaan positif terhadap diri sendiri (self love and self acceptance). Perasaan positif terhadap diri sendiri ini sangat penting dan menentukan, yaitu dengan cara memerhatikan tingkat pemahaman, kemampuan berbahasa, tingkat fungsi sosial, perilaku dan kematangan emosi setiap individu, sehingga materi pengajaran juga dapat disesuaikan dengan kondisi anak.

Tahap ini sering kali terlewatkan karena memang sulit diterapkan pada individu berkebutuhan khusus. Tetapi setidaknya topik-topik tertentu harus dibahas, misalnya identifikasi anggota tubuh, bagaimana berhadapan dengan menstruasi dan masturbasi, aspek kebersihan diri, dan perilaku sosial yang patut dan mulai dari bagaimana berhubungan dengan orang yang baru dikenal maupun yang sudah akrab serta sampai pada bagaimana berpakaian pantas atau bagaimana menggunakan toilet umum.

Di samping itu, ada dua jenis bimbingan yang diperlukan anak dalam konteks pendidikan seksual, yaitu (a) Anak harus tahu batasan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dari perilakunya, misalnya tidak boleh membuka baju di depan orang lain. (b) Anak harus diajarkan dasar - dasar keterampilan sosial. Tanpa dasar seperti ini, ia akan sulit memasuki tahapan yang lebih rumit dari hubungan antarmanusia seperti persahabatan, cinta, perkawinan, sampai perilaku kebutuhan seks. 

Dalam hal ini lebih baik membantu individu tersebut untuk memperbanyak alternatif kegiatan yang dapat ia lakukan di waktu luang, seperti diskusi

Pubertas Pada Remaja Dengan Kebutuhan Khusus

Adalah hal yang umum bahwa saat anak anak memasuki masa remaja, timbul kecemasan kecemasan pada orang tua; terlebih pada orang tua dari anak anak dengan kebutuhan khusus (anak anak autistik, down syndrome, gangguan mental, dsb). Mereka memiliki lebih banyak kekhawatiran mengingat anak dengan kebutuhan khusus memiliki hambatan dalam berkomunikasi, berperilaku juga dalam memahami tatanan sosial. 

Para orang tua anak anak tersebut dibayangi kecemasan bahkan ketakutan akan terjadinya pelecehan seksual, perilaku anak yang tidak pantas dan memalukan di tempat tempat umum seperti menggaruk garuk alat kelaminnya, menanggalkan pakaiannya, bahkan remaja dengan kebutuhan khusus ini dapat saja melakukan masturbasi dimanapun saat libidonya timbul. Perilaku seperti itu pada akhirnya bukan saja memalukan tetapi mendatangkan permasalahan baru, dimana orang tua harus berhadapan dengan masyarakat yang tidak dapat memahami keadaan yang sebenarnya. Yang lebih menghawatirkan adalah sekolah sekolah tempat mereka mengikuti proses belajar mengajar, termasuk sekolah sekolah umum yang menyatakan diri menerima murid dengan kebutuhan khusus, menolak keberadaan anak anak tersebut di sekolah jika dalam batas waktu yang diberikan, perilaku seksual anak tidak berubah. Sungguh keadaan yang sangat ironis. Tampaknya isu pubertas ini, khususnya pada anak anak dengan kebutuhan khusus, masih ditanggapi secara dangkal dan belum disikapi secara bijak. Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwasanya masalah seputar sex masih tetap menjadi hal yang tabu dan tertutup di dalam tatanan masyarakat kita dan kecenderungannya adalah bahwa hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua untuk mengajarkannya. Dalam menanggapi kecemasan para orang tua, beberapa waktu yang lalu SARANA telah mengadakan acara diskusi yang mengangkat tema “Pubertas pada remaja dengan kebutuhan khusus”. 

Aspek Fisiologis
Dr Irmia Kusumadewi SpKJ(K) selaku salah satu pembicara menyampaikan bahwa anak anak dengan kebutuhan khusus yang beranjak dewasa, sama halnya dengan anak anak seusianya, akan mengalami masa pubertas. Awal masa pubertas setiap individu berbeda beda, namun secara umum hal ini akan terjadi pada usia 9 – 14 tahun pada anak perempuan dan 10 – 17 tahun pada anak laki laki. Proses ini akan berlangsung selama 1 sampai 6 tahun. 
Pada masa pubertas seseorang berubah dari fisik anak anak menjadi fisik dewasa sejalan dengan terjadinya perubahan hormonal di dalam tubuhnya. Perubahan fisik ini ditandai dengan antara lain tumbuhnya bulu di ketiak, pembesaran buah dada pada anak perempuan, testis yang membesar pada anak laki laki, dst. Sementara itu, yang dimaksud dengan terjadinya perubahan hormonal pada anak perempuan adalah keadaan dimana ovarium sudah mulai memproduksi hormon estrogen dan progesteron sehingga dapat terjadi ovulasi jika dibuahi dan menstruasi jika tidak dibuahi. Sedangkan pada anak laki laki, adanya perubahan hormonal menyebabkan testis mulai memproduksi hormon testosteron dan diproduksinya sperma. Disamping itu, perubahan fisik tersebut akan mempengaruhi pula keadaan psikis, kognitif dan sosial anak. Ketidak nyamanan pada tubuh yang mereka rasakan, ketidak pahaman mereka dalam menghadapi perubahan tersebut akan menimbulkan perilaku perilaku baru seperti menjadi mudah marah, melawan, bingung, berperilaku yang beresiko, eksperimen terhadap zat, problem sekolah, keluhan psikosomatis, aktivitas seksual, dsb. Menurut dr. Mia, pada keadaan yang sulit untuk dikendalikan, dapat saja terjadi seorang anak dalam masa pubertas memerlukan bantuan terapi psikofarmaka seperti obat obatan anti kejang, anti depresan, anti psikotik dengan pengawasan ahli medis. 

Aspek Psikologis
Dengan adanya beragam keterbatasan yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahannya sekarang adalah bagaimana memberi pemahaman pada anak anak dan remaja dengan kebutuhan khusus tentang masalah pubertas; serta bagaimana orang tua, terapis, guru, pengasuh menyikapi masa ini secara bijaksana. Dari sudut pandang psikologis, Dra. Endang Retno Wardhani menyarankan agar orang tua sudah mengantisipasi akan datangnya masa pubertas jauh hari sebelumnya sehingga anak anak tersebut dapat dipersiapkan menghadapinya melalui beragam pengenalan, penjelasan dan pemahaman yang diperlukan. Pendampingan orang tua dalam hal ini berkaitan dengan pengolahan kematangan pemahaman anak terhadap aspek konsep diri, pemahaman perubahan fisik, pengenalan peran dalam interaksi sosial serta pengenalan bina diri (self care). Mengingat pembelajaran yang bersifat visual akan jauh lebih mudah dipahami anak, seorang ayah dapat saja mengajari anak laki lakinya tentang perubahan fisik saat mandi bersama, sementara seorang ibu dapat mengajari anak perempuannya seputar menstruasi. Role model dari masing masing gender adalah perlu dalam hal ini. Seberapa cepat anak dapat mengerti hal tersebut sangat bergantung pada tingkat kemampuan pemahaman anak. Disamping itu, anakpun perlu disibukkan dengan beragam kegiatan untuk mengisi hari harinya. Selain untuk membantu mengaktualisasikan diri, memperbanyak kegiatan yang melibatkan fisik dapat membantu mereka meredam gejolak emosi dan dorongan seksualnya. 

Aspek Pedagogis
Hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam proses pengajaran adalah penggunaan terminologi baku pada saat memperkenalkan bagian vital tubuh manusia. Adalah penting untuk memberi penamaan yang sebenarnya untuk alat kelamin laki laki (penis) misalkan dan bukan disamarkan menjadi “burung”. Tujuannya adalah untuk mencegah salah pengertian ataupun kesalah pahaman di kemudian hari. Pernyataan tersebut mengemuka saat para pembicara dari Sekolah Cita Buana Jakarta menyampaikan pengalaman mereka selaku pengajar di unit khusus bagi murid murid dengan kebutuhan khusus di sekolah tersebut. Ibu Ninong dan Ibu Aimee memaparkan tahap tahap yang mereka lakukan dalam mempersiapkan murid muridnya memasuki masa pubertas. Ada 3 aspek yang perlu diiajarkan kepada mereka; yang pertama pentingnya pemahaman konsep diri (self) sejak dini termasuk pemahaman akan konsep keluarga (family) dengan membuat pohon keluarga (family tree) sebagai alat bantu visual. Yang kedua, anak anak juga perlu diperkenalkan adanya tempat tempat yang bersifat umum/publik (contoh: mall, ruang tamu, dapur, kendaraan umum, ruang kelas, dsb); tempat tempat yang bersifat pribadi/privat (kamar tidur, kamar mandi, WC, WC umum yang kesemuanya itu bersifat privat jika dalam keadaan PINTU TERTUTUP) berikut perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas dilakukan disana. Hal yang ketiga adalah mengajarkan protective behaviour melalui konsep lingkaran (circle concept) yang menjadi salah satu strategi agar anak dapat melindungi dirinya, membela dirinya. Melalui konsep ini diajarkan pula pentingnya menjaga ruang pribadi (personal space) mereka dan juga ruang pribadi orang lain. Mereka harus belajar mengatur jarak jika berada dekat dengan orang lain serta menolak keberadaan orang lain yang memasuki ruang pribadi mereka. Personal space ini berupa lingkaran maya yang radiusnya berukuran minimum sepanjang lengan anak. Selanjutnya, pada materi yang sama, anak anak diajarkan untuk memahami keberadaan mereka di dalam komunitas, termasuk mengenali siapa siapa saja yang berada dalam kelompok orang orang terdekat yang boleh dicium, dipeluk; siapa siapa saja yang cukup disapa dengan berjabatan tangan, serta siapa siapa saja yang tidak perlu disapa, terlebih dipeluk atau dicium. Yang terakhir ini adalah mereka yang berada di lingkaran terluar yaitu orang orang yang tidak mereka kenal (stranger). Melalui pengajaran yang bersifat visual, bermain peran, diskusi kelompok; anak anak diharapkan akan lebih mudah dan cepat memahami konsep yang pada intinya bersifat abstrak ini. Suasana yang akrab juga harus diciptakan agar anak anak merasa nyaman untuk berbagi kepada guru dan teman temannya bahkan menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya. Generalisasi dari pembelajaran ini dilakukan saat murid murid mengunjungi fasilitas umum/ publik dibawah pengawasan team guru. 

Aspek Orang tua
Sementara itu, Adriana Ginanjar - orang tua dari remaja berkebutuhan khusus - pada kesempatan yang sama memaparkan pengalamannya dalam menghadapi anak laki lakinya yang memasuki masa pubertas. Persiapan yang ia lakukan sejak 3 tahun yang lalu, adalah menjadwalkan kegiatan dimana lebih banyak role model laki laki yang hadir dalam kegiatan anaknya seperti berekreasi dengan ayah, paman disamping memperbanyak aktivitas fisik seperti berenang. Iapun berupaya agar anak memiliki cukup ruang gerak pribadi seperti menyediakan kamar tidur sendiri, memberikan pilihan pilihan dan tidak memaksakan jika anak menolak melakukan hal yang tidak ia inginkan. Disimpulkannya bahwa tugas terberat dan tersulit yang ia hadapi sebagai seorang ibu yang juga psikolog adalah dalam menjelaskan masalah seks dan cara mengekspresikan dorongan seksual kepada anaknya. Sebagai orang tua, iapun perlu terus menambah wawasan mengenai remaja dengan kebutuhan khusus melalui buku buku, seminar, dsb. Menurutnya, perjalanan yang harus ia tempuh masih sangat panjang dalam mendidik dan menanamkan pengertian kepada anaknya seputar masalah pubertas ini. 

Pada akhirnya, para pembicara sepakat bahwa dalam menyikapi masa pubertas pada remaja dengan kebutuhan khusus diperlukan kesabaran yang tinggi, pengajaran yang berulang ulang disertai alat bantu visual serta waktu yang lama. Untuk tercapainya tingkat kesuksesan dalam pembelajaran, kerjasama team yang terdiri atas orang tua, guru dan profesi lain yang terkait seperti psikolog, dokter perlu dijalin dengan erat.

PENDIDIKAN INKLUSIF

oleh SBB

PENGERTIAN PENDIDIKAN INKLUSIF
Pendidikan inklusif adalah penggabungan pendidikan regular dan pendidikan khusus ke dalam satu sistem persekolahan yang dipersatukan untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua siswa.
Pendidikan inklusif bukan sekedar metode atau pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.


ELEMEN-ELEMEN DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF

§ Sikap guru yang positif terhadap keragaman.

§ Interaksi promotif dalam pembelajaran koperatif.

§ Pengembangan kompetensi akademik yang seimbang dengan kompetensi sosial.

§ Konsultasi kolaboratif antar profesional.

§ Hidup dan belajar dalam masyarakat.

§ Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.

§ Belajar dan berpikir independen.

§ Belajar sepanjang hayat.


CIRI-CIRI PENDIDIKAN INKLUSIF

§ Siswa yang berusia sama duduk dalam kelas yang sama.

§ Siswa saling bekerjasama dengan sesamanya.

§ Siswa merasa kelas sebagai milik bersama.

§ Siswa memiliki pengalaman berhasil.

§ Siswa belajar mengembangkan sikap toleran.

§ Siswa belajar mengembangkan sikap empati.

§ Guru menerima perbedaan siswa.

§ Guru mengembangkan dialog dengan siswa.

§ Guru mendorong terjadinya interaksi promotif antar siswa.

§ Guru menjadikan skolah menarik bagi siswa.

§ Guru membuat siswa aktif.

§ Guru mempertimbangkan perbedaan antar siswa dalam kelasnya.

§ Guru menyiapkan tugas-tugas yang berbeda untuk siswa-siswanya.

§ Guru fleksibel dan kreatif.


LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF

1. Landasan Filosofis

Bhinneka Tunggal Ika : Pengakuan kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal sebagai khalifah Tuhan di muka bumi untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.


2. Landasan Religi

§ Manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.

§ Manusia diciptakan sebagai makhluk yang individual differences agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.


3. Landasan Keilmuan

§ Psikologi

§ Sosiologi

§ Antropologi

§ Biologi

§ Neuroscience

§ Ekonomi

§ Politik

§ dsb.


4. Landasan Yuridis

§ Declaration of Human Rights (1948)

§ Convention of Human Rights of The Child (1989)

§ Life Long Education > Education for All (Bangkok, 1991)

§ Kesepakatan UNESCO di Salamanca tentang Inclusive Education (1994)

§ Dakkar Statement

§ Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

§ Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

§ dsb.


ALASAN PERLUNYA PENDIDIKAN INKLUSIF
» Sesuai dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika dan ajaran agama.
» Sekolah segregatif menghambat anak yang membutuhkan pendidikan khusus dalam melakukan penyesuaian sosial.
» Menjamin terbentuknya masyarakat yang demokratis.
» Sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
» Menghindarkan siswa dari rendah diri dan arogansi.
» Membiasakan siswa menghargai pluralitas.
» Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial.
» Guru dapat saling belajar tentang siswa.


DIMANA PENDIDIKAN INKLUSIF HENDAKNYA DILAKSANAKAN?

Pendidikan inklusif hendaknya dilaksanakan :
Di sekolah.
Di dalam keluarga.
Di masyarakat.


SARAN-SARAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
» Perlahan-lahan, selangkah demi selangkah, mulai dari PAUD.
» Gunakan nara sumber yang dapat memberikan bimbingan.
» Kembangkan ruang dan pusat sumber belajar.
» Berikan pelatihan kepada semua tenaga kependidikan dan orang tua mereka :

- fleksibel dan kreatif,

- menghargai kebhinnekaan/pluralitas,

- mampu mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan individual anak,

- dapat bekerjasama dalam tim kerja, dan

- dapat mengembangkan iklim belajar dan bekerja yang sehat.
related post

Mengajarkan Pemahaman Pubertas pada Siswa Berkebutuhan Khusus

oleh SBB

Jika anak-anak Special Needs (SN) beranjak remaja, sekitar usia SMP, mereka juga akan mengalami masa puber. Sama seperti individu normal yang tidak mengalami hambatan perkembangan, mereka akan mengalami perubahan emosional, fisik, dan sosial.

Perubahan emosi pada anak SN cenderung lebih sulit. Minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan, sehingga tidak ada informasi yang jelas tentang itu. Atau sebaliknya, mereka justru menarik diri dari pergaulan, karena tidak mampu menterjemahkan bagitu banyak “pesan tersirat” dan “aturan sosial” yang membingungkannya.

Cerita Ibu Budi, Koordinator ortopedagog SMP Mutiara Bunda, Bandung, menjadikan kita tersadar, bahwa anak-anak SN memerlukan penguatan luar biasa untuk menjadikan mereka dapat bersikap secara patut, utamanya menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam siklus hormonalnya.

Untuk siswi SN perempuan, menginjak usia SMP tentu saja akan mengalami menstruasi. Alih-alih mengerti mengapa menstruasi terjadi, dan bagaimana harus memakai pembalut, Cinta (bukan nama sebenarnya), malahan –maaf- melambai-lambaikan pembalut dan ditempelkan ke dahinya.

Sedangkan Ade (juga bukan nama aslinya), berlaku onani (maaf) di kelas. Mereka tetap mengalami gejala pubertas seperti halnya siswa normal lainnya. Hanya saja mereka tidak memahami, apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana harus menata diri.

Jika mereka merasa “naksir” lawan jenisnya, anak-anak SN remaja ini akan mendekat, kadang memeluk siapa yang dia sukai. Demikian juga dengan siswa SN laki-laki, saat mimpi basah terjadi di sekolah, dia cuek’ aja melihat celananya basah.

Perilaku mereka memang sering tidak pantas dan memalukan. Misalnya menggaruk alat kelamin, menanggalkan pakaian, melakukan masturbasi, dimanapun saat libidonya timbul. Anak SN memiliki hambatan komunikasi, berperilaku dan memahami norma sosial.

Persiapan Pedagog

Juni lalu, diadakan sebuah pelatihan untuk orang tua dan Guru siswa berkebutuhan khusus. Drs. Hidayat, Dipl., S.Ed., MSi, konsultan ahli pendidikan Inklusi, dan Prof. Juke R. Siregar M.Pd, staf pengajar fakultas Psikologi Unpad menjadi nara sumber.

Menurut para narasumber, dapat disimpulkan ada tiga aspek yang perlu diajarkan.

Pertama, pentingnya pemahaman konsep diri, termasuk konsep keluarga, dengan membuat pohon keluarga sebagai alat bantu visual.
Kedua, pengenalan lokasi umum (mall, dapur, kendaraan umum, ruang kelas,dll) dan tempat yang bersifat pribadi seperti kamar tidur, kamar mandi, wc umum, yang semuanya privat dan dalam keadaan pintu tertutup.
Ketiga, mengajarkan perlindungan diri, melalui konsep lingkaran sebagai salah satu strategi agar anak dapat melindungi dan membela diri. Pentingnya menjaga ruang pribadi dan ruang pribadi orang lain. Personal space ini berupa lingkaran maya yang bisa disimulasikan , misal radius berukuran minimum sepanjang lengan anak.

Selanjutnya anak juga diajarkan memahami keberadaan mereka dalam komunitas, mengenali siapa saja yang ada di kelompok terdekat yang boleh dicium, dipeluk, dan siapa saja yang cukup disapa dengan jabat tangan. Kenalkan lingkaran terluar, yakni orang yang dikenal, melalui pengajaran visual, dengan menggunakan gambar, miniatur benda, simulasi konkrit, bermain peran, dan adegan film.

Dengan begitu anak SN akan mudah memahami konsep yang abstrak ini. Cara menyampaikan perubahan seksual ini memang harus ekstra hati-hati dan sabar. Sampaikan berulang-ulang. Gunakan bahasa sederhana, pendek, jelas dan mudah dipahami

Kamis, 23 April 2009

Disleksia

oleh SBB


Disleksia, Kesulitan Belajar umum pada anak-anak

Tahukah Anda bahwa dyslexia (disleksia dalam bahasa Indonesia) adalah penyebab yang paling umum dari masalah kesulitan mengeja, membaca dan menulis? Bagaimana kita membantu anak-anak mengatasi kesulitan-kesulitan ini agar berhasil di sekolah? Informasi-informasi berikut ini bertujuan membantu orang tua, guru, dan terapis mengerti dyslexia dan membantu anak/murid mengembangkan kecintaan membaca dan menulis.

Apa itu disleksia dan penyebabnya?

Dyslexia adalah suatu masalah kesulitan belajar khusus. Dyslexia mempengaruhi kemampuan seseorang untuk belajar, mengolah, dan mengerti suatu informasi dengan baik. Secara khusus, hal ini menyebabkan masalah dalam membaca dan menulis karena seseorang dengan problem dyslexia mempunyai kesulitan mengenali dan mengartikan suatu kata, mengerti isi suatu bacaan, dan mengenali bunyi. Tentunya ini menghambat kemampuan seorang anak untuk belajar membaca, bahkan jika anak mempunyai intelegensia normal dan instruksi yang jelas. Dyslexia mempengaruhi 15-20% dari populasi, dan terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak dari pada perempuan.

Penyebab dari dyslexia secara umum bisa jadi dari genetika, namun penyebab lain yang tidak umum adalah cedera pada kepala atau trauma. Beberapa anak dyslexia ternyata memproses informasi menggunakan area yang berbeda pada otak dibanding anak-anak tanpa kesulitan belajar. Walaupun begitu, ini bukan merupakan karakteristik pada semua anak dyslexia. Beberapa type dyslexia bisa menunjukkan perbaikan sejalan bertambahnya usia anak.

Bagaimana mengidentifikasi dyslexia?

Identifikasi dyslexia mungkin sangat sulit dilakukan sebagai orang tua atau guru di kelas. Namun orang tua dan guru bisa melihat beberapa tanda dan gejala dyslexia, dan bisa mencari pendapat dan evaluasi dari ahli profesional/terapis yang tepat.

Perhatikan beberapa tanda berikut :

Kesulitan mengasosiasikan (menghubungkan arti) suatu huruf dengan bunyinya
Terbalik dengan huruf (dia jadi bia) atau kata (tik jadi kit)
Kesulitan membaca kata tunggal
Kesulitan mengeja kata tunggal
Kesulitan mencatat huruf/kata dari papan tulis atau buku
Kesulitan mengerti apa yang mereka dengar (auditory)
Kesulitan mengatur tugas, material, dan waktu
Kesulitan mengingat isi materi baru dan materi sejenisnya
Kesulitan dengan tugas menulis
Kesulitan pada kemampuan motorik halus (misalnya memegang alat tulis, mengancing baju)
Tidak terkoordinasi
Masalah perilaku dan/atau tidak suka membaca

Jika seorang anak menunjukkan sejumlah tanda-tanda dyslexia, rujuklah anak kepada lembaga pendidikan khusus atau ahli profesional yang terlatih dalam masalah dyslexia, untuk melakukan evaluasi menyeluruh. (Catatan : daftar tanda-tanda di atas tidak merupakan daftar mutlak tanda dan gejala dyslexia. Gunakanlah hanya sebagai panduan umum, bukan sebagai dasar diagnosis. Tanyakanlah dulu kepada ahli untuk rujukan selanjutnya)

Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu anak dyslexia?

Setelah anak dievaluasi, hasilnya akan menunjukkan dengan cara bagaimana anak bisa belajar paling baik. Ada anak yang belajar lebih baik dengan cara visual (melihat), auditori (mendengarkan), dan taktil (menyentuh/meraba). Menggunakan gaya belajar yang sesuai untuk tiap anak sangat penting supaya mereka bisa belajar lebih baik. Berikut adalah contoh cara belajar untuk masing-masing type anak (saran-saran ini bersifat umum dan tidak harus digunakan secara mutlak pada tiap anak)

Visual (penglihatan)

Anak belajar paling baik dengan cara melihat informasi. Karena itu, cara mulai yang baik adalah dengan menggunakan kartu bergambar dengan kata-kata tertulis di bawahnya (flash card). Pilihlah kata-kata yang sesuai dengan level belajar anak. Selain itu, jika anak kesulitan dengan bunyi, tunjukkan di mana bunyi itu dibuat di dalam mulut secara umum. Contoh : tunjukkan huruf /t/ pada kartu, lalu arahkan ke dalam mulut Anda. Buatlah bunyi /t/ dengan gerakan yang berlebihan. Biarkan anak meniru tindakan Anda sambil melihat ke dalam cermin. Tingkatkan dengan kombinasi suku kata 2 huruf (ta, ti) dan 3 huruf (tas, top), dengan cara menyuarakan dan menulis. Bantulah juga dalam hal kemampuan mengelompokkan dengan menggunakan gambar-gambar dan kata pada kalender harian. Ulanglah kalender ini setiap hari, lalu tandai tugas-tugas yang sudah selesai.

Auditori (pendengaran)

Anak-anak auditori belajar paling baik dengan cara mendengarkan apa yang diajarkan. Untuk anak yang kesulitan pada masalah bunyi, ajarkan sepasang kata singkat dan mintalah anak untuk mengatakan kata mana yang betul (tas/das). Juga, mintalah mereka menulis huruf, kata, atau kalimat sementara Anda mengucapkannya, untuk melatih kemampuan menulis. Bantulah juga dalam hal kemampuan mengelompokkan dengan memasang kalender “verbal” (diucapkan). Baca dengan keras kepada anak jadwal hariannya dan bantulah dia mengatur tugas, jadwal, dll.

Taktil (perabaan)

Anak-anak ini belajar paling baik dengan proses ‘menyentuh’. Ini adalah anak-anak yang biasa terlihat memisahkan bagian suatu benda dan kemudian menyatukannya kembali. Mereka belajar paling baik dengan melalui sentuhan, sehingga sangatlah penting untuk memasukkan gaya belajar ini ke dalam perintah-perintah Anda.

Contoh : Biarkan anak membuat bentuk huruf dari tanah liat, untuk membentuk kata singkat. Ulanglah bunyi dari tiap huruf sementara anak membuatnya. Selain itu, alat pengeja taktil juga penting untuk pembelajar type ini. Alat ini meliputi huruf-huruf bertekstur/guratan sehingga anak mendapat rabaan taktil sementara mengeja. Bantulah mengelompokkan dengan mengkombinasikan proses belajar visual dan taktil. Buat kalender dan tandai tiap tanggal penting dengan sticker timbul/bertekstur. Setiap hari, ulanglah kalender ini bersama anak dan buatlah ia menyentuh dan merasakan stiker tersebut. Kombinasi pembelajaran visual dan taktil akan membantu daya ingat.

Contoh-contoh di atas adalah saran untuk mengajar anak dyslexia dengan memfokus pada gaya belajar individual mereka. Ingatlah bahwa banyaknya waktu mengajar mereka secara individu dan identifikasi dini terhadap kesulitan belajar ini, akan membuat proses belajar lebih berhasil.

Mengenal & Membimbing Anak Hiperaktif

Apa sebenarnya yang disebut hiperaktif itu ? Gangguan hiperaktif sesungguhnya sudah dikenal sejak sekitar tahun 1900 di tengah dunia medis. Pada perkembangan selanjutnya mulai muncul istilah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity disorder). Untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif, harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif. 

Inatensi 

Inatensi atau pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain. 

Hiperaktif 

Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik. 

Impulsif 

Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 

Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah. 

Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif 
Problem di sekolah 

Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa 

Problem di rumah 

Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. 

Hambatan-hambatan tersebut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak. 

Problem berbicara 

Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat. 

Problem fisik 

Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya. 

Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak : 

Faktor neurologik 
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif 

Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi 

Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan 

Faktor toksik 

Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif. 

Faktor genetik 

Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar. 

Faktor psikososial dan lingkungan 

Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara orang tua dengan anaknya. Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif : 

Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas 
Kenali kelebihan dan bakat anak 
Membantu anak dalam bersosialisasi 
Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib), memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak 
Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya 
Menerima keterbatasan anak 
Membangkitkan rasa percaya diri anak 
Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya 

Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya

Mengenal Autisme

Secara garis besar, Autisme, adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pada anak-anak biasa disebut dengan Autisme Infantil. Selain Autisme juga dikenal istilah Schizophrenia yang juga merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri seperti: berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri. 

Tetapi ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari Autisme pada penderita Schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan. Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang Ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata. 

Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak, digunakan standar internasional tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah : Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3) seperti di bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3). 

Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. 
Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini : 
Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju 
Tidak bisa bermain dengan teman sebaya 
Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain) 
Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. 
Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini : 
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal 
Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi 
Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang 
Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru 
Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan.
Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini : 
Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan 
Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya 
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang 
Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda 

Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak. Namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktivitas. Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2 penyandang autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal dan berprestasi. Di Amerika, di mana penyandang autisme ditangani secara lebih serius, persentase kesembuhan lebih besar.